Dewan Pers dan Komunitas Pers Tolak RUU Penyiaran

Dewan Pers dan Komunitas Pers Tolak RUU Penyiaran
Dewan Pers dan Komunitas Pers menolak RUU Penyiaran. Foto: dewanpers.or.id
banner 468x60

frasamedia.com, Jakarta – Dewan Pers dan seluruh komunitas pers dengan tegas menolak isi draf Rancangan Undang-Undang atau RUU Penyiaran.

Rencananya RUU Penyiaran yang merupakan inisiatif DPR ini untuk menggantikan Undang-undang (UU) Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran.

“Kami menolak RUU Penyiaran. Kami menghormati rencana revisi UU Penyiaran tetapi mempertanyakan UU Pers Nomor 40 Tahun 1999 justru tidak dimasukkan dalam konsideran RUU Penyiaran,” kata Ketua Dewan Pers, Ninik Rahayu.

Menurut Ninik Rahayu, bila RUU tersebut nanti berlaku, maka tidak akan ada independensi pers. Pers menjadi tidak profesional.

Ninik juga mengritik penyusunan RUU oleh DPR tersebut yang tidak sejak awal melibatkan Dewan Pers dalam proses pembuatannya.

Dalam ketentuan proses penyusunan UU harus ada partisipasi penuh makna (meaningful participation) dari seluruh pemangku kepentingan.

“Hal ini tidak terjadi dalam penyusunan draf RUU Penyiaran. Larangan penayangan jurnalisme investigasi di draf RUU Penyiaran,” tegasnya.

Hal ini juga bertentangan dengan pasal 4 ayat (2) UU Pers yang menyatakan, bahwa terhadap pers nasional tidak dikenakan penyensoran, pembredelan, atau pelarangan penyiaran.

Dampak lainnya, larangan itu akan membungkam kemerdekaan pers. Padahal jelas tertera dalam pasal 15 ayat (2) huruf a, bahwa fungsi Dewan Pers adalah melindungi kemerdekaan pers dari campur tangan pihak lain.

“Sesuai UU Pers, itu menjadi kewenangan Dewan Pers. KPI tidak punya wewenang menyelesaikan sengketa pers,” jelasnya.

Ketua Umum Asosiasi Media Siber Indonesia (AMSI), Wahyu Dyatmika juga menyuarakan hal senada. Ia menegaskan, jika DPR atau pemerintah tetap ngotot untuk memberlakukan RUU itu, maka akan berhadapan dengan masyarakat pers.

“Kalau DPR tidak mengindahkan aspirasi ini, maka Senayan akan berhadapan dengan komunitas pers,” kata Wahyu, biasa dipanggil Komang.

Sementara itu, Ketua Umum Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Nani Afrida berpendapat, jurnalisme investigatif merupakan strata tertinggi dari karya jurnalistik sehingga jika dilarang, maka akan menghilangkan kualitas jurnalistik. (*/Jar)

Editor: Jar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *